Kata Iman berasal dari bahasa
Arab yang artinya percaya.
Sedangkan menurut istilah, pengertian
iman adalah : Tashdiqun bil qolbi waqoulun bil lisan wa amalun bil arkan (membenarkan dengan hati, diucapkan dengan
lisan, dan diamalkan dengan perbuatan). Dengan demikian, pengertian
iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar
ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaanNya, kemudian pengakuan hati
itu diikrarkan dengan lisan berupa syahadat, serta dibuktikan dengan amal
perbuatan secara nyata.
Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin
(orang yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas.
Ø Apabila seseorang mengakui
dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan
dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang tersebut dikatakan sebagai
orang kafir karena menentang akan kebenaran yang diyakininya
Ø Apabila orang tersebut
berikrar dengan lisannya dan mengamalkan dengan perbuatan namun hatinya ingkar
maka orang tersebut dikatakan sebagai orang munafik
Ø Apabila orang tersebut
meyakini didalam hati dan diikrarkan dengan lisan namun tidak mau mengamalkan
dengan perbuatan maka orang tersebut dikatakan sebagai orang fasik
Ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu
kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya..
Beriman kepada Allah
adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi seseorang. Allah memerintahkan agar
ummat manusia beriman kepada-Nya, sebagaimana firman Allah :
“Wahai orang-orang yang
beriman. Tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya (Muhammad) dan kepada Kitab
(Al Qur’an) yang diturunkan kepada RasulNya, serta kitab yang diturunkan
sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya, dan hari kemudian, maka sungguh orang itu
telah tersesat sangat jauh.” (Q.S. An Nisa : 136)
Ayat di atas menjelaskan kepada
kita bahwa bila kita ingkar kepada Allah, maka kita akan mengalami kesesatan
yang nyata. Orang yang sesat tidak akan merasakan kebahagiaan dalam hidup. Oleh
karena itu, beriman kepada Allah sesungguhnya adalah untuk kebaikan manusia.
Macam-macam Iman
Di dalam kitab tafsir
Ruhul Bayan disebutkan bahwa pengertian iman secara hakikat adalah sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Hadid ayat 16 :
“
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang
yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran
yang Telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya Telah diturunkan Al Kitab kepadanya, Kemudian berlalulah masa yang
panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara
mereka adalah orang-orang yang fasik “.
Dari pengertian iman
secara syari’at dan hakikat ini, imam Ghazali membagi iman manusia kepada tiga
tingkatan:
Ø Iman Taqlidi ( Imannya orang-orang
awam ) yaitu imannya kebanyakan orang yang
tidak berilmu. Mereka beriman karena taklid semata. Sebagai perumpamaan iman
tingkat pertama ini, kalau kamu diberi tahu oleh orang yang sudah kamu uji
kebenarannya dan kamu mengenal dia belum pernah berdusta serta kamu tidak
merasa ragu atas ucapannya, maka hatimu akan puas dan tenang dengan berita
orang tadi dengan semata-mata hanya mendengar saja.
Ini adalah
perumpamaan imannya orang-orang awam yang taklid. Mereka beriman setelah
mendengar dari ibu bapak dan guru-guru mereka tentang adanya Allah dan
Rasul-Nya dan kebenaran para Rasul itu beserta apa-apa yang dibawanya. Dan
seperti apa yang mereka dengar itu, mereka menerimanya serta tidak terlintas di
hati mereka adanya kesalahan-kesalahan dari apa yang dikatakan oleh orang tua
dan guru-guru mereka, mereka merasa tenang dengannya, karena mereka berbaik
sangka kepada bapak, ibu dan guru-guru mereka, sebab orang tua tidak mungkin
mengajarkan yang salah kepada anak-anaknya, guru juga tidak mungkin mengajarkan
yang salah kepada murid-muridnya. Karena kita percaya kepada orang tua dan
kepada guru, maka kita pun beragama Islam.
Iman yang semacam ini
tidak jauh berbeda dengan imannya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang juga
merasa tenang dengan hal-hal yang mereka dengar dari ibu, bapak dan guru-guru
mereka. Bedanya adalah mereka memperoleh ajaran yang salah dari orang tua dan
guru-guru mereka, sedangkan orang-orang Islam mempercayai kebenaran itu bukan
karena melihat kebenaran karena penyaksiannya terhadap Allah, tetapi karena mereka
telah diberikan ajaran yang haq, yang benar.
Ø
Imanu Istidlali ( Imannya orang-orang ahli Ilmu Kalam )
yaitu dimana mereka
beriman cukup berdasarkan dalil aqli dan naqli, dan mereka merasa puas dengan
itu. Iman tingkat kedua ini tidak jauh berbeda derajatnya dengan iman tingkat
pertama. Sebagai contoh, apabila ada orang yang mengatakan kepadamu bahwa Zaid
itu di rumah, kemudian kamu mendengar suaranya, maka bertambahlah keyakinanmu,
karena suara itu menunjukkan adanya Zaid di rumah tersebut. Lalu hatinya
menetapkan bahwa suara orang tersebut adalah suara si Zaid.
Iman pada tingkat ini
adalah iman yang bercampur baur dengan dalil dan kesalahan pun juga mungkin
terjadi karena mungkin saja ada yang berusaha menirukan suara tadi, tetapi yang
mendengarkan tadi merasa yakin dengan apa yang telah di dengarnya, karena ia tidak
berprasangka buruk sama sekali dan ia tidak menduga ada maksud penipuan dan
peniruan. Jadi imannya orang-orang ahli ilmu kalam masih terdapat kesalahan dan
kekeliruan padanya.
Ø
Imanut Tahqiqi /
Arifi ( Imannya orang-orang
ahli makrifat
)
Yaitu imannya para
ahli makrifat dan Hakikat. Mereka beriman kepada Allah dengan pembuktian
melalui penyaksian kepada Allah. Sebagai perumpamaan: Apabila kamu masuk ke
dalam rumah, maka kamu akan melihat dan menyaksikan Zaid itu dengan pandangan
mata kamu. Inilah makrifat yang sebenarnya dan inilah yang dikatakan iman yang
sebenarnya. Karena mereka beriman dengan pembuktian melalui penyaksian mata
hatinya, maka mustahil mereka terperosok ke jurang kesalahan.
Dari ketiga tingkatan iman ini dapatlah
kita ketahui bahwa hanya orang-orang ahli makrifatlah atau orang-orang ahli hakekatlah
yang dikatakan benar-benar telah beriman kepada Allah. Adapun imannya
orang-orang awam dan imannya orang-orang ahli ilmu kalam adalah beriman secara
syari’at, namun secara hakikat mereka belum beriman kepada Allah, disebabkan
karena ketiadaan ilmu dan ketidaktahuan mereka. Jadi hanya dengan mempelajari
tarekatlah kita baru dapat lepas dari syirik khafi (syirik yang tersembunyi)
dan syirik yang jali (syirik yang nyata). firman Allah dalam surat az-Zumar
ayat 22 :
“Maka apakah
orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia
mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka
Kecelakaan besarlah bagi mereka yang Telah membatu hatinya untuk mengingat
Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata “.
Tingkatan Iman
menurut Imam Al-Ghozali:
Ø Imanul abidin: Imannya ahli ibadah, orang yang beribadah kepada
Allah karena mengharap surga dan takut neraka. Ibarat seorang pekerja yang mau
bekerja karena menginginkan upahnya dan tidak mau tahu tentang keadaan majikan,
ia cinta kepada majikan atau tidak cinta terhadap majikan yang penting upah.
Atau seperti seseorang yang mencintai kekasih karena kekayaannya, ia tidak
cinta kepada kekasihnya, yang ia cintai hanyalah kekayaanya. Tingkatan iman seperti
ini adalah tingkat iman yang masih rendah.
Ø Imanun muhibbin: Imannya seorang yang beribadah karena rasa cinta
kepada Allah. Ia rela melakukan apapun demi sang kekasihnya. Ibaratnya seorang
Pemuda rela melakukan apa saja demi sang kekasihnya, tapi jika cintanya di
tolak/mendapat cobaan maka sudah tidak cinta lagi.
Ø Imanun Mukhlisin: imannya seorang yang ikhlas, tapi keiklasanya
masih di aku, aku sudah beramal sekian banyak, sudah shodaqoh sekian banyak,
dzikir sekian banyak, aku bisa sholat rajin. Aku-aku inilah yang menyebabkan sumber
kesombongan.
Ø Imanul Arifin: Imannya seorang yang ikhlas/seorang yang arif
dan bijaksana, dalam beribadah tidak mengharapkan apa-apa, hanya mengharapkan
Ridho dari Allah dan di dalam ikhlas itu tidak merasa ikhlas, karena ikhlasnya
billah (yang menggerakkan Allah) “wamaa romaita idz romaita wa lakinnaallaha
roma” dan “laa haula wala kuata ila billah”. Ini adalah tingkatan Iman
yang sempurna istilahnya imanun Ma’rifat.
Hakikat Iman
Para
Ulama membagi hakikat iman dalam 5 tingkatan, yaitu
Ø
Iman Al Wasithu,
yaitu iman yang dimiliki oleh para malaikat, dimana tingkatan iman ini tidak
pernah berkurang dan tidak pula bertambah
Ø
Iman Al Ma’sum yaitu
iman yang dimiliki oleh para Nabi dan Rosul Allah SWT. Dimana tingkatan iman
ini tidak pernah berkurang dan akan selalu bertambah ketika wahyu datang
kepadanya
Ø
Iman Al Makbul yaitu iman yang dimiliki oleh muslim dimana
iman tingkatan ini selalu bertambah jika mengerjakan amal kebaikan dan akan
berkurang jika melakukan maksiat
Ø
Iman Al Maukuf yaitu iman yang
dimiliki oleh ahli bid’ah, yaitu iman yang ditangguhkan dimana jika berhenti
melakukan bid’ah maka iman akan diterima, diantaranya kaum rafidhoh, atau
dukun, sihir, dan yang sejenisnya
Ø
Iman Al Mardud yaitu iman yang
ditolak, dimana iman ini yang dimiliki oleh orang-orang musrik, murtad ,
munafik dan kafir dan sejenisnya.
Cara
Menjaga dan Menguatkan Iman
Alloh
berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam.” (Ali Imran: 102)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah
menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan lelaki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang denan (menggunakan)
nama-Nya kami saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An-Nisa: 1)
Begitulah perintah Allah kepada kita agar kita
bertakwa. Namun, iman di dalam hati kita bukanlah sesuatu yang statis. Iman
kita begitu dinamis. Bak gelombang air laut yang kadang pasang naik dan kadang
pasang surut.
Ketika kondisi iman kita lemah dan kondisi lemah
itu kita masih ada dalam kebaikan, kita beruntung. Namun, bila ketika kondisi
iman kita lemah dan kondisi lemah itu membuat kita ada di luar koridor ajaran
Rasulullah saw., kita celaka. Rasulullah saw. bersabda, “Engkau mempunyai amal yang bersemangat, dan setiap semangat mempunyai
kelemahan. Barangsiapa yang kelemahannya tertuju pada sunnahku, maka dia telah
beruntung. Dan, siapa yang kelemahannya tertuju kepada selain itu, maka dia
telah binasa.” (Ahmad)
Begitulah kondisi hati kita. Sesuai dengan
namanya, hati –dalam bahasa Arab qalban—selalu
berubah-ubah (at-taqallub) dengan cepat. Rasulullah saw. berkata, “Dinamakan hati karena perubahannya.
Sesungguhnya hati itu ialah laksana bulu yang menempel di pangkal pohon yang
diubah oleh hembusan angin secara terbalik.” (Ahmad dalam Shahihul Jami’
no. 2365)
Karena itu Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita
sebuah doa agar Allah saw. menetapkan hati kita dalam ketaatan. “Ya Allah Yang membolak-balikan hati-hati
manusia, balikanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.” (Muslim no. 2654)
Hati kita akan kembali pada kondisi ketaatan
kepada Allah swt. jika kita senantiasa memperbaharui keimanan kita. Rasulullah
saw. bersabda, “Sesungguhnya iman itu
dijadikan di dalam diri salah seorang di antara kamu sekalian sebagaimana
pakaian yang dijadikan, maka memohonlah kepada Allah agar Dia memperbaharui
iman di dalam hatimu.” (Al-Hakim di Al-Mustadrak, 1/4; Al-Silsilah
Ash-Shahihain no. 1585; Thabrany di Al-Kabir)
Adapaun cara
merawat dan menjaga iman adalah sebagai berikut.
Ø Perbanyaklah menyimak ayat-ayat Al-Quran
Al-Qur’an diturunkan Allah
sebagai cahaya dan petunjuk, juga sebagai obat bagi hati manusia. “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang
menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra’: 82).
Kata Ibnu Qayyim, yang
seharusnya dilakukan oleh seorang muslim untuk menyembuhkan hatinya melalui
Al-Quran, “Caranya ada dua macam:
·
Engkau
harus mengalihkan hatimu dari dunia, lalu engkau harus menempatkannya di
akhirat.
·
Engkau
harus menghadapkan semua hatimu kepada pengertian-pengertian Al-Qur’an,
memikirkan dan memahami apa yang dimaksud dan mengapa ia diturunkan. Engkau
harus mengamati semua ayat-ayat-Nya. Jika suatu ayat diturunkan untuk mengobati
hati, maka dengan izin Allah hati itu pun akan sembuh.”
·
Ø Rasakan keagungan Allah seperti yang digambarkan Al-Qur’an dan
Sunnah
Al-Qur’an dan Sunnah
banyak sekali mengungkap keagungan Allah swt. Seorang muslim yang ketika
dihadapkan dengan keagungan Allah, hatinya akan bergetar dan jiwanya akan
tunduk. Kekhusukan akan hadir mengisi relung-relung hatinya.
Resapi betapa agungnya
Allah yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui, yang memiliki nama-nama yang baik
(asma’ul husna). Dialah Al-’Azhim, Al-Muhaimin, Al-Jabbar, Al-Mutakabbir,
Al-Qawiyyu, Al-Qahhar, Al-Kabiir, Al-Muth’ali. Dia yang menciptakan segala
sesuatu dan hanya kepada-Nya lah kita kembali.
Jangan sampai kita
termasuk orang yang disebut ayat ini,
“Dan mereka tidak
mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi dan
seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan
tangan kanan-Nya.”
(Az-Zumar: 67)
Ø Carilah ilmu syar’i
Sebab, Al-Qur’an berkata,
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya ialah orang-orang yang berilmu.” (Fathir: 28).
Karenanya, dalamilah
ilmu-ilmu yang mengantarkan kita pada rasa takut kepada Allah.
Allah berfirman,
“Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Az-Zumar: 9).
Orang yang tahu tentang
hakikat penciptaan manusia, tahu tentang syariat yang diturunkan Allah sebagai
tata cara hidup manusia, dan tahu ke mana tujuan akhir hidup manusia, tentu
akan lebih khusyuk hatinya dalam ibadah dan kuat imannya dalam aneka gelombang
ujian ketimbang orang yang jahil.
Orang yang tahu tentang
apa yang halal dan haram, tentu lebih bisa menjaga diri daripada orang yang
tidak tahu. Orang yang tahu bagaiman dahsyatnya siksa neraka, tentu akan lebih
khusyuk. Orang yang tidak tahu bagaimana nikmatnya surga, tentu tidak akan
pernah punya rasa rindu untuk meraihnya.
Ø Ikutilah majelis dzikir
Suatu hari Abu Bakar
mengunjungi Hanzhalah. “Bagaimana keadaanmu, wahai Hanzhalah?” Hanzhalah
menjawab, “Hanzhalah telah berbuat munafik.” Abu Bakar menanyakan apa sebabnya.
Kata Hanzhalah, “Jika kami berada di sisi Rasulullah saw., beliau mengingatkan
kami tentang neraka dan surga yang seakan-akan kami bisa melihat dengan mata
kepala sendiri. Lalu setelah kami pergi dari sisi Rasulullah saw. kami pun
disibukkan oleh urusan istri, anak-anak, dan kehidupan, lalu kami pun banyak
lupa.”
Lantas keduanya mengadukan
hal itu kepada Rasulullah saw. Kata Rasulullah, “Demi jiwaku yang ada di dalam
genggaman-Nya, andaikata kamu sekalian tetap seperti keadaanmu di sisiku dan di
dalam dzikir, tentu para malaikat akan menyalami kamu di atas kasurmu dan
tatkala kamu dalam perjalanan. Tetapi, wahai Hanzhalah, sa’atan, sa’atan,
sa’atan.” (Shahih Muslim no. 2750)
Begitulah majelis dzikir.
Bisa menambah bobot iman kita. Makanya para sahabat sangat bersemangat
mengadakan pertemuan halaqah dzikir. “Duduklah besama kami untuk mengimani hari
kiamat,” begitu ajak Muadz bin Jabal. Di halaqah itu, kita bisa melaksanakan
hal-hal yang diwajibkan Allah kepada kita, membaca Al-Qur’an, membaca hadits,
atau mengkaji ilmu pengetahuan lainnya.
Ø Perbanyaklah amal shalih
Suatu ketika Rasulullah
saw. bertanya, “Siapa di antara kalian
yang berpuasa di hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Lalu Rasulullah saw. bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu
Bakar menjawab, “Saya.” Lalu
Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah
amal-amal itu menyatu dalam diri seseorang malainkan dia akan masuk surga.”
(Muslim)
Begitulah seorang mukmin
yang shiddiq (sejati), begitu antusias menggunakan setiap kesempatan untuk
memperbanyak amal shalih. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan surga.
“Berlomba-lombalah kamu
kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabb-mu dan surga yang luasnya seluas langit
dan bumi.”
(Al-Hadid: 21)
Begitulah mereka. Sehingga
keadaan mereka seperti yang digambarkan Allah swt.,
“Mereka sedikit sekali tidur pada waktu
malam, dan pada akhir-akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah). Dan,
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian.” (Adz-Dzariyat: 17-19)
Banyak beramal shalih,
akan menguatkan iman kita. Jika kita kontinu dengan amal-amal shalih, Allah
akan mencintai kita. Dalam sebuah hadits qudsy, Rasulullah saw. menerangkan
bahwa Allah berfirman, “Hamba-Ku
senantiasa bertaqarrub kepada-Ku dengan mengerjakan nafilah sehingga Aku
mencintainya.” (HR Bukhari )
Ø Lakukan berbagai macam ibadah
Ibadah memiliki banyak
ragamnya. Ada ibadah fisik seperti puasa, ibadah materi seperti
zakat, ibadah lisan seperti doa dan dzikir. Ada juga ibadah yang yang memadukan
semuanya seperti haji. Semua ragam ibadah itu sangat bermanfaat untuk
menyembuhkan lemah iman kita.
Puasa membuat kita khusyu’
dan mempertebal rasa muraqabatullah (merasa diawasi Allah). Shalat rawatib
dapat menyempurnakan amal-amal wajib kita kurang sempurna kualitasnya. Berinfak
mengikis sifat bakhil dan penyakit hubbud-dunya. Tahajjud menambah kekuatan.
Banyak melakukan berbagai
macam ibadah bukan hanya membuat baju iman kita makin baru dan cemerlang, tapi
juga menyediakan bagi kita begitu banyak pintu untuk masuk surga. Rasulullah
saw. bersabda, “Barangsiapa yang
menafkahi dua istri di jalan Allah, maka dia akan dipanggil dari pintu-pintu
surga: ‘Wahai hamba Allah, ini adalah baik.’ Lalu barangsiapa menjadi orang
yang banyak mendirikan shalat, maka dia dipanggil dari pintu shalat.
Barangsiapa menjadi orang yang banyak berjihad, maka dia dipanggil dari pintu jihad. Barangsiapa menjadi
orang yang banyak melakukan puasa, maka dia dipanggil dari pintu Ar-rayyan. Barangsiapa menjadi orang
yang banyak mengeluarkan sedekah, maka dia dipanggil dari pintu sedekah.”
(Bukhari no. 1798)
Ø Hadirkan perasaan takut mati dalam keadaan su’ul khatimah
Rasa takut su’ul khatimah
akan mendorong kita untuk taat dan senantiasa menjaga iman kita. Penyebab su’ul
khatimah adalah lemahnya iman menenggelamkan diri kita ke dalam jurang
kedurhakaan. Sehingga, ketika nyawa kita dicabut oleh malaikat Izrail, lidah
kita tidak mampu mengucapkan kalimat laa ilaha illallah di hembusan nafas
terakhir.
Ø Banyak-banyaklah ingat mati
Rasulullah saw. bersabda, “Dulu aku melarangmu menziarahi kubur,
ketahuilah sekarang ziarahilah kubur karena hal itu bisa melunakan hati,
membuat mata menangis mengingatkan hari akhirat, dan janganlah kamu mengucapkan
kata-kata yang kotor.” (Shahihul Jami’ no. 4584)
Rasulullah saw. juga
bersabda, “Banyak-banyaklah mengingat
penebas kelezatan-kelezatan, yakni kematian.” (Tirmidzi no. 230)
Mengingat-ingat mati bisa
mendorong kita untuk menghindarkan diri dari berbuat durhaka kepada Allah; dan
dapat melunakkan hati kita yang keras. Karena itu Rasulullah menganjurkan
kepada kita, “Kunjungilah orang sakit dan
iringilah jenazah, niscaya akan mengingatkanmu terhadap hari akhirat.”
(Shahihul Jami’ no. 4109)
Melihat orang sakit yang
sedang sakaratul maut sangat memberi bekas. Saat berziarah kubur, bayangkan
kondisi keadaan orang yang sudah mati. Tubuhnya rusak membusuk. Ulat memakan
daging, isi perut, lidah, dan wajah. Tulang-tulang hancur.
Bayangan seperti itu jika
membekas di dalam hati, akan membuat kita menyegerakan taubat, membuat hati
kita puas dengan apa yang kita miliki, dan tambah rajin beribadah.
Ø Mengingat-ingat dahsyatnya keadaan di hari akhirat
Ada beberapa surat yang
menceritakan kedahsyatan hari kiamat. Misalnya, surah Qaf, Al-Waqi’ah,
Al-Qiyamah, Al-Mursalat, An-Naba, Al-Muththaffifin, dan At-Takwir. Begitu juga
hadits-hadits Rasulullah saw.Dengan membacanya, mata hati kita akan terbuka.
Seakan-akan kita menyaksikan semua itu dan hadir di pemandangan yang dahsyat
itu.
Semua pengetahuan kita tentang kejadian hari
kiamat, hari kebangkitan, berkumpul di mahsyar, tentang syafa’at Rasulullah
saw., hisab, pahala, qishas, timbangan, jembatan, tempat tinggal yang kekal di
surga atau neraka; semua itu menambah tebal keimanan kita.
Ø Berinteraksi dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan fenomena
alam
Aisyah pernah berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat orang-orang
jika mereka melihat awan, maka mereka gembira karena berharap turun hujan.
Namun aku melihat engkau jika engkau melihat awan, aku tahu ketidaksukaan di
wajahmu.” Rasulullah saw. menjawab, “Wahai Aisyah, aku tidak merasa aman jika
di situ ada adzab. Sebab ada suatu kaum yang pernah diadzab dikarenakan angin,
dan ada suatu kaum yang melihat adzab seraya berkata, ‘Ini adalah awan yang
akan menurunkan hujan kepada kami’.” (Muslim no. 899)
Begitulah Rasulullah saw.
berinteraksi dengan fenomena alam. Bahkan, jika melihat gerhana, terlihat raut
takut di wajah beliau. Kata Abu Musa, “Matahari
pernah gerhana, lalu Rasulullah saw. berdiri dalam keadaan ketakutan. Beliau
takut karena gerhana itu merupakan tanda kiamat.”
Ø Berdzikirlah yang banyak
Melalaikan dzikirulah
adalah kematian hati. Tubuh kita adalah kuburan sebelum kita terbujur di kubur.
Ruh kita terpenjara. Tidak bisa kembali. Karena itu, orang yang ingin mengobati
imannya yang lemah, harus memperbanyak dzikirullah.
“Dan ingatlah Rabb-mu jika kamu lupa.” (Al-Kahfi: 24)
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.” (Ar-Ra’d: 28)
Ibnu Qayim berkata, “Di dalam hati terdapat kekerasan yang tidak
bisa mencair kecuali dengan dzikrullah. Maka seseorang harus mengobati
kekerasan hatinya dengan dzikrullah.”
Ø Perbanyaklah munajat kepada Allah dan pasrah kepada-Nya
Seseorang selagi banyak
pasrah dan tunduk, niscaya akan lebih dekat dengan Allah. Sabda Rasulullah
saw., “Saat seseorang paling dekat dengan
Rabb-nya ialah ketika ia dalam keadaan sujud, maka perbanyaklah doa.”
(Muslim no. 428)
Seseorang selagi mau
bermunajat kepada Allah dengan ucapan yang mencerminkan ketundukan dan
kepasrahan, tentu imannya semakin kuat di hatinya. Semakin menampakan kehinaan
dan kerendahan diri kepada Allah, semakin kuat iman kita. Semakin banyak
berharap dan meminta kepada Allah, semakin kuat iman kita kepada Allah swt.
Ø Tinggalkan angan-angan yang muluk-muluk
Ini penting untuk
meningkatkan iman. Sebab, hakikat dunia hanya sesaat saja. Banyak
berangan-angan hanyalah memenjara diri dan memupuk perasaan hubbud-dunya. Allah
swt. berfirman,
“Maka bagaimana pendapatmu jika Kami
berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada
mereka adzab yang telah dijanjikan kepada mereka, niscaya tidak berguna bagi
mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.” (Asy-Syu’ara: 205-207)
“ Dan
(Ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka
merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) Hanya
sesaat di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya
Rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka
tidak mendapat petunjuk “ (Yunus: 45)
Ø Memikirkan kehinaan dunia
Hati seseorang tergantung
pada isi kepalanya. Apa yang dipikirkannya, itulah orientasi hidupnya. Jika di
benaknya dunia adalah segala-galanya, maka hidupnya akan diarahkan untuk
memperolehnya. Cinta dunia sebangun dengan takut mati. Dan kata Allah swt., “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah
kesenangan yang memperdaya.” (Ali Imran)
Karena itu pikirkanlah
bawa dunia itu hina. Kata Rasulullah saw., “Sesungguhnya
makanan anak keturunan Adam itu bisa dijadikan perumpamaan bagi dunia. Maka
lihatlah apa yang keluar dari diri anak keturunan Adam, dan sesungguhnya
rempah-rempah serta lemaknya sudah bisa diketahui akan menjadi apakah ia.”
(Thabrani)
Dengan memikirkan bahwa
dunia hanya seperti itu, pikiran kita akan mencari orientasi ke hal yang lebih
tinggi: surga dan segala kenikmatan yang ada di dalamnya.
Ø Mengagungkan hal-hal yang terhormat di sisi Allah
Firman Alloh :
“Barangsiapa yang
mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)
“Dan barangsiapa
mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik
baginya di sisi Rabb-nya.” (Al-Hajj: 30)
Hurumatullah adalah
hak-hak Allah yang ada di diri manusia, tempat, atau waktu tertentu. Yang
termasuk hurumatullah, misalnya, lelaki pilihan Muhammad bin Abdullah,
Rasulullah saw.; tempat-tempat suci (Masjid Haram, Masjid Nabawi, Al-Aqha), dan
waktu-waktu tertentu seperti bulan-bulan haram.
Yang juga termasuk
hurumatullah adalah tidak menyepelekan dosa-dosa kecil. Sebab, banyak manusia
binasa karena mereka menganggap ringan dosa-dosa kecil. Kata Rasulullah saw., “Jauhilah dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa
kecil itu bisa berhimpun pada diri seseornag hingga ia bisa membinasakan
dirinya.”
Ø Menguatkan sikap al-wala’ wal-bara’
Al-wala’ adalah saling tolong
menolong dan pemberian loyalitas kepada sesama muslim. Sedangkan wal-bara
adalah berlepas diri dan rasa memusuhi kekafiran. Jika terbalik, kita benci
kepada muslim dan amat bergantung pada musuh-musuh Allah, tentu keadaan ini
petanda iman kita sangat lemah.
Memurnikan loyalitas hanya
kepada Allah, Rasul, dan orang-orang beriman adalah hal yang bisa menghidupkan
iman di dalam hati kita.
Ø Bersikap tawadhu
Rasulullah saw. bersabda,
“Merendahkan diri termasuk bagian dari iman.” (Ibnu Majah no. 4118)
Rasulullah juga berkata,
“Barangsiapa menanggalkan pakaian karena merendahkan diri
kepada Allah padahal dia mampu mengenakannya, maka Allah akan memanggilnya pada
hari kiamat bersama para pemimpin makhluk, sehingga dia diberi kebebasan
memilih di antara pakaian-pakaian iman mana yang dikehendaki untuk
dikenakannya.” (Tirmidzi
no. 2481)
Maka tak heran jika baju
yang dikenakan Abdurrahman bin Auf –sahabat yang kaya—tidak beda dengan yang
dikenakan para budak yang dimilikinya.
Ø Perbanyak amalan hati
Hati akan hidup jika ada
rasa mencintai Allah, takut kepada-Nya, berharap bertemu dengan-Nya, berbaik
sangka dan ridha dengan semua takdir yang ditetapkan-Nya. Hati juga akan penuh
dengan iman jika diisi dengan perasaan syukur dan taubat kepada-Nya.
Amalan-amalan hati seperti itu akan menghadirkan rasa khusyuk, zuhud, wara’,
dan mawas diri. Inilah halawatul iman
(manisnya iman)
Ø Sering menghisab diri
Allah berfirman,
“Hai orang-ornag yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat).”
(Al-Hasyr: 18)
Umar bin Khattab r.a. berwasiat,
“Hisablah dirimu sekalian
sebelum kamu dihisab.”
Selagi waktu kita masih longgar, hitung-hitunglah
bekal kita untuk hari akhirat. Apakah sudah cukup untuk mendapat ampunan dan
surga dari Allah swt.? Sungguh ini sarana yang efektif untuk memperbaharui iman
yang ada di dalam diri kita.
Ø Berdoa kepada Allah agar diberi ketetapan iman
Perbanyaklah doa. Sebab,
doa adalah kekuatan yang luar biasa yang dimiliki seorang hamba. Rasulullah
saw. berwasiat,
“Iman itu dijadikan di dalam diri salah seorang di antara kamu
bagaikan pakaian yang dijadikan, maka memohonlah kepada Allah agar Dia
memperbaharui iman di dalam hatimu.”
Pasang surutnya
Keimanan
Bagi sebagian orang, sudah
beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’alaa saja sudah merasa cukup. Apapun yang
dilakukannya, iman yang ada dirinya tidak akan pernah luntur. Padahal tidaklah
demikian. Iman yang ada pada hati seseorang dapat luntur, atau bahkan hilang,
jika orang tersebut tidak menjaganya. Perhatikan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam berikut ini:
”Iman itu
kadang naik kadang turun, maka perbaharuilah iman kalian dengan la ilaha
illallah.” (HR Ibn Hibban)
Iman yang ada dalam hati kita mengalami fluktuasi.
Iman tersebut bisa bertambah kuat, namun juga dapat terkikis tanpa kita sadari.
Naik turunnya iman yang kita miliki tergantung kepada diri kita sendiri dalam
menjaganya. Sebagai seorang muslim, tentunya kita menginginkan agar iman yang
kita miliki tidak berkurang, tapi justru bertambah kuat. Karenanya, kita harus
mengetahui apa saja yang mempengaruhi naik turunnya kadar keimanan dalam diri
kita.
Untuk itu kita harus waspada dan selalu mengintrospeksi
diri dan dengan mengetahui barometer kaimanan kita apakah saat ini iman kita
lagi kondisi prima, atau lagi dalam kondisi down atau bahkan lagi terkikis
tanpa kita sadari. Untuk mengetahui kondisi keimanan kita, rosulullah telah
memberi resep yaitu dengan mengukur peleksanaan ibadah kita, yaitu apakah
ibadah kita kepada Allah saat ini benar-benar khusu’, kita merasa butuh dengan
Allah, dekat dengan Allah, di saat melakukan ibadah umpamanya melakukan sholat
kita merasa ada ketenangan, ada kekhusu’an dan ingin berlama-lama dalam sholat,
kalau itu yang kita rasakan maka kata Nabi, bahwa pertanda iman kita sedang
dalam keadaan pasang, sebaliknya kalau kita untuk memenuhi panggilan Allah saja
sudah terasa malas, Sholat terasa berat, berbuat baik kagak mau, dan disaat
mengerjakan sholat tidak ada rasa ketenangan sama sekali, apalagi sampai khusu’
dan ingin cepat-cepat selesai mengerjakanya, kondisi yang semacam ini pertanda
bahwa iman kita sedang dalam keadaan menurun.
Ada banyak hal yang dapat menurunkan kadar
keimanan yang ada dalam diri kita. Secara garis besar, sebab-sebab yang
menurunkan kadar keimanan dapat datang dari dalam diri kita sendiri, dan dari
luar. Hal-hal yang menurunkan kadar keimanan, yang berasal dari dalam diri kita
diantaranya adalah:
1.
Kebodohan
Kebodohan
merupakan salah satu hal yang mengakibatkan berbagai perbuatan buruk. Boleh
jadi seseorang berbuat buruk karena ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu
dilarang oleh agama. Bahkan bisa jadi ia tidak tahu akan balasan atas
perbuatannya kelak di akhirat. Karena itu, marilah kita berupaya semaksimal
mungkin untuk mencari dan menuntut ilmu, terutama ilmu agama, sehingga
terhindar dari perbuatan-perbuatan yang buruk, sebagai akibat dari kebodohan
kita sendiri.
2.
Ketidak-pedulian, keengganan, dan melupakan
kewajiban
Keengganan
seseorang dalam ketika berurusan dengan hal-hal yang berbsifat ukhrowi
membuatnya sulit untuk dapat melakukan kebaikan. Padahal berbuat baik sudah
merupakan salah satu hal yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa.
Melupakan
kewajibannya sebagai makhluk untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’alaa
dapat pula menyebabkan kadar iman kita berkurang. Padahal, kita sebagai manusia
diciptakan Allah Subhanahu wa ta’alaa semata-mata untuk beribadah kepadanya.
Nafsu duniawi membuat orang lupa kewajiban utamanya ini. Akibatnya, ia akan
semakin jauh dari cahaya Allah Subhanahu wa ta’alaa.
3.
Menyepelekan perintah dan larangan Allah
Subhanahu wa ta’alaa
Awal dari
perbuatan dosa adalah sikap menganggap sepele apa yang telah diperintahkan dan
dilarang oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa. Sebagai akibatnya, orang yang
menganggap sepele perintah dan larangan-Nya akan senang sekali melakukan
perbuatan-perbuatan dosa. Sering juga ia menganggap bahwa apa yang dilakukannya
hanyalah dosa kecil. Padahal, jika dilakukan terus menerus, dosa-dosa kecil
tersebut akan semakin besar. Karena terbiasa melakukan dosa-dosa kecil, maka ia
sudah tidak ada perasaan takut dan ragu lagi utnuk melakukan dosa-dosa besar.
4.
Jiwa yang selalu memerintahkan berbuat jahat
Ibnul
Qayyim Al Jauziyyah mengatakan, Allah Subhanahu wa ta’alaa menggabungkan dua
jiwa, yakni jiwa jahat dan jiwa yang tenang sekaligus dalam diri manusia, dan
mereka saling bermusuhan dalam diri seorang manusia. Disaat salah satu melemah,
maka yang lain menguat. Perang antar keduanya berlangsung terus hingga si
empunya jiwa meninggal dunia.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “..barang siapa yang diberi petunjuk
Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang
disesatkannya maka tidak ada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk”.
Sifat
lalai, tidak mau belajar agama, sombong dan tidak peduli merupakan beberapa
cara untuk membiarkan jiwa jahat dalam tubuh kita berkuasa. Sedangkan sifat
rendah hati, mau belajar, mau melakukan instropeksi (muhasabah) merupakan cara
untuk memperkuat jiwa kebaikan (jiwa tenang) yang ada dalam tubuh kita.
Sedangkan dari luar diri kita,
ada beberapa hal yang dapat menurunkan kadar keimanan kita, diantaranya adalah:
1.
Syaithan
Syaithan
adalah musuh manusia. Tujuan syaithan adalah untuk merusak keimanan orang.
Siapa saja yang tidak membentengi dirinya dengan selalu mengingat Allah
Subhanahu wa ta’alaa, maka ia menjadi sarang syaithan, menjerumuskannya dalam
kesesatan, ketidak patuhan terhadap Allah Subhanahu wa ta’alaa, membujuknya
melakukan dosa.
2.
Bujuk rayu dunia
Allah
Subhanahu wa ta’alaa berfirman dalam Al Quran:
Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (QS, al-Hadiid: 20).
Pada
hakikatnya, tujuan hidup manusia adalah untuk akhirat. Dunia ini merupakan
tempat kita untuk mengumpulkan bekal bagi kehidupan kita di akhirat kelak.
Segala kesenangan yang ada di dunia ini merupakan kesenangan semu.
Namun
tidak sedikit orang yang tergoda oleh kesenangan sesaat ini, sehingga rela
melakukan apa saja demi kehidupan dunia. Bahkan meskipun harus mrnyalahi perintah
Allah SWT sekalipun.
3.
Pergaulan yang buruk
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Seseorang
itu terletak pada agama teman dekatnya, sehingga masing-masing kamu sebaiknya
melihat kepada siapa dia mengambil teman dekatnya” (HR Tirmidzi, Abu Dawud,
al-Hakim, al-Baghawi).
Teman dan
sahabat yang sholeh sangat penting kita miliki di zaman ini dimana pergaulan
manusia sudah sangat bebas dan tidak lagi memperhatikan nilai-nilai agama
Islam. Berada diantara teman-teman yang sholeh akan membuat seorang wanita
tidak merasa asing bila mengenakan jilbab. Demikian pula seorang pria bisa
merasa bersalah bila ia membicarakan aurat wanita diantara orang-orang sholeh.
Sebaliknya berada diantara orang-orang yang tidak sholeh atau berperilaku buruk
menjadikan kita dipandang aneh bila berjilbab atau bahkan ketika hendak
melakukan sholat.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan
menjadi tolok ukur keimanan kita serta bagaimana cara mengatasi disaat
mengalami posang surutnya keimanan. Amin ya Mujibass sailin
bagus.. mencerahkan
BalasHapusTerimakasih
BalasHapus